Nasehat
terkeren, terkesan, terciamik, terefektif, dan paling jos adalah bukan
dengan hanya arahan atau perintah secara lisan. Akan tetapi, dengan memberikan
contoh dari diri sendiri. Ada seorang bapak yang melarang keras anaknya untuk
merokok. Namun di sehari-harinya bapak tersebut selalu menyuruh anaknya itu
untuk pergi ke warung buat beli rokok untuk dia sendiri. Lalu, apakah anak tadi
lantas mengiyakan larangan dari bapaknya tadi? Mungkin iya mungkin tidak. Kalau
iya pun karena sebatas bentuk rasa hormat atau rasa takut dari anak ke bapak
biar ngga dianggap jadi anak kurang ajar. Atau mungkin sang anak sudah mengerti
dan mempelajari efek negatip rokok untuk tubuhnya sehingga menghindari perilaku
merokok tadi.
Hal
ini akan berbeda apabila sang bapak tadi memang bukan perokok. Sehingga kalau
menasehati anaknya pun langsung mengena, karena sudah ada contohnya. Si anak
pun bisa berpikir “oh bapak ngga ngerokok nih. Kalau ngelarang aku ngerokok
berarti emang ada bahayanya ini, ada efek negatifnya ini. Oke lah, aku ngga
bakal ngerokok”.
Nah,
jadi bisa diliat kan, cara paling efektif untuk menasehati tuh ya dengan
memberi contoh dulu. Nasehati dulu diri sendiri, perbaiki dulu diri sendiri.
Kalau kita melarang orang lain buang sampah sembarangan, coba kita buang sampah
di tempatnya dulu. Kita ngelarang temen buat ngga mubazir makanan, ya coba kita
untuk tidak menyisakan jatah makanan yang ada. Dan masih buanyak lah
contoh-contoh serupa yang bisa kita aplikasikan terhadap diri sendiri dulu
sebelum menyuruhkannya ke orang lain.
Ada sebuah
kisah. Dahulu kala, ada seorang pembesar agama. Sering memberikan
ceramah-ceramah berkaitan dengan kehidupan beragama maupun bermasyarakat.
Beliau ini sangat dihargai dan dihormati oleh banyak kalangan. Nah, di jaman
itu masih banyak sekali para budak-budak yang belum merdeka. Lalu pada suatu
hari, sang guru besar tadi diminta untuk memfatwakan, atau memberikan ceramah
yang berisi tentang keutamaan dalam memerdekakan budak. Hari demi hari
ditunggu, bulan, tahun dan akhirnya di tahun berikutnya baru deh beliau
memfatwakan kepada semua yang memiliki budak untuk memerdekakan budak yang ada.
Dan hingga pada saat itu, banyak sekali para budak yang akhirnya bisa merdeka.
Lalu,
para budak tadi berbondong-bondong untuk bertanya kepada guru tadi.
“Wahai
guru, kenapa engkau baru hari ini menyuruh para majikan untuk memerdekakan
kami. Bertahun-tahun kami menunggu fatwa darimu, namun baru hari ini engkau
mengatakannya. Seandainya engkau memfatwakannya dari dulu, pasti kami sudah
bisa merasakan kebebasan sejak dahulu”
‘’Wahai
saudaraku, bukannya aku ngga mau melihat kalian merdeka. Tapi tahukah kalian.
Di tahun pertama aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli seorang budak. Dan
pada akhirnya aku bisa membeli budak ddan baru tadi pagi aku memerdekakan budak
yang aku punya. Sehingga setelah itu, barulah aku berani berujar kepada para
majikan-majikan kalian untuk memerdekakan budak yang mereka miliki. Karena aku
takut, jika nasehat itu aku lontarkan di tahu-tahun terdahulu, maka nasehat itu
akan ditimpakan balik kepadaku kembali”
Jadi,
demikianlah hakekatnya dalam menasehati orang lain. Jikalau kita memang
benar-benar setulus hati ingin menasehati orang lain, mengingatkan merka untuk
menuju kepada hal yang lebih baik, maka alangkah baiknya kita menoleh kepada
diri kita terlebih dahulu. Karena dengan demikian, orang lain pasti akan lebih
menerima, lebih mengena, lebih bisa dipahami
dan akhirnya akan benar-benar didengar, terpatri dihati hinggapada
akhirnya lebih mudah untuk di lakukan serta diaplikasikan dalam kehidupan yang
sesungguhnya nanti.
No comments:
Post a Comment