Saturday, April 23, 2016

Nasehati Aku, Mas...

Nasehat terkeren, terkesan, terciamik, terefektif, dan paling jos adalah bukan dengan hanya arahan atau perintah secara lisan. Akan tetapi, dengan memberikan contoh dari diri sendiri. Ada seorang bapak yang melarang keras anaknya untuk merokok. Namun di sehari-harinya bapak tersebut selalu menyuruh anaknya itu untuk pergi ke warung buat beli rokok untuk dia sendiri. Lalu, apakah anak tadi lantas mengiyakan larangan dari bapaknya tadi? Mungkin iya mungkin tidak. Kalau iya pun karena sebatas bentuk rasa hormat atau rasa takut dari anak ke bapak biar ngga dianggap jadi anak kurang ajar. Atau mungkin sang anak sudah mengerti dan mempelajari efek negatip rokok untuk tubuhnya sehingga menghindari perilaku merokok tadi.

Hal ini akan berbeda apabila sang bapak tadi memang bukan perokok. Sehingga kalau menasehati anaknya pun langsung mengena, karena sudah ada contohnya. Si anak pun bisa berpikir “oh bapak ngga ngerokok nih. Kalau ngelarang aku ngerokok berarti emang ada bahayanya ini, ada efek negatifnya ini. Oke lah, aku ngga bakal ngerokok”.

Nah, jadi bisa diliat kan, cara paling efektif untuk menasehati tuh ya dengan memberi contoh dulu. Nasehati dulu diri sendiri, perbaiki dulu diri sendiri. Kalau kita melarang orang lain buang sampah sembarangan, coba kita buang sampah di tempatnya dulu. Kita ngelarang temen buat ngga mubazir makanan, ya coba kita untuk tidak menyisakan jatah makanan yang ada. Dan masih buanyak lah contoh-contoh serupa yang bisa kita aplikasikan terhadap diri sendiri dulu sebelum menyuruhkannya ke orang lain.

Ada sebuah kisah. Dahulu kala, ada seorang pembesar agama. Sering memberikan ceramah-ceramah berkaitan dengan kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Beliau ini sangat dihargai dan dihormati oleh banyak kalangan. Nah, di jaman itu masih banyak sekali para budak-budak yang belum merdeka. Lalu pada suatu hari, sang guru besar tadi diminta untuk memfatwakan, atau memberikan ceramah yang berisi tentang keutamaan dalam memerdekakan budak. Hari demi hari ditunggu, bulan, tahun dan akhirnya di tahun berikutnya baru deh beliau memfatwakan kepada semua yang memiliki budak untuk memerdekakan budak yang ada. Dan hingga pada saat itu, banyak sekali para budak yang akhirnya bisa merdeka.

Lalu, para budak tadi berbondong-bondong untuk bertanya kepada guru tadi.

“Wahai guru, kenapa engkau baru hari ini menyuruh para majikan untuk memerdekakan kami. Bertahun-tahun kami menunggu fatwa darimu, namun baru hari ini engkau mengatakannya. Seandainya engkau memfatwakannya dari dulu, pasti kami sudah bisa merasakan kebebasan sejak dahulu”

‘’Wahai saudaraku, bukannya aku ngga mau melihat kalian merdeka. Tapi tahukah kalian. Di tahun pertama aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli seorang budak. Dan pada akhirnya aku bisa membeli budak ddan baru tadi pagi aku memerdekakan budak yang aku punya. Sehingga setelah itu, barulah aku berani berujar kepada para majikan-majikan kalian untuk memerdekakan budak yang mereka miliki. Karena aku takut, jika nasehat itu aku lontarkan di tahu-tahun terdahulu, maka nasehat itu akan ditimpakan balik kepadaku kembali”

Jadi, demikianlah hakekatnya dalam menasehati orang lain. Jikalau kita memang benar-benar setulus hati ingin menasehati orang lain, mengingatkan merka untuk menuju kepada hal yang lebih baik, maka alangkah baiknya kita menoleh kepada diri kita terlebih dahulu. Karena dengan demikian, orang lain pasti akan lebih menerima, lebih mengena, lebih bisa dipahami  dan akhirnya akan benar-benar didengar, terpatri dihati hinggapada akhirnya lebih mudah untuk di lakukan serta diaplikasikan dalam kehidupan yang sesungguhnya nanti.


No comments:

Post a Comment

Most Popular