Tuesday, December 8, 2015

Tangan Mungil si Adek



Musim dingin sudah menjelang. Daun-daun maple yang basah ikut memenuhi jalanan. Genangan air terlihat di pinggir trotoar bekas hujan kemarin siang. Seakan menegaskan Ankara siap mengucapkan selamat datang. Selamat datang untuk musim dingin yang sebenarnya amat tak diinginkan untuk datang.

Pagi itu masih sepi. Jalanan masih cukup lengang untuk dilalui. Hari itu memang kebetulan aku ada sedikit urusan di kampus. Ada janji ketemu sama dosen. Memang sengaja pagi itu untuk berangkat lebih awal demi menghindari jalanan macet. Meskipun sebenarnya hati juga enggan untuk keluar rumah, meninggalkan kehangatan aerta kenyamanan bantal dan selimut di kamar sana.

10 menit kutunggu bis di halte depan rumah. Merupakan tantangan tersendiri sebenarnya, berjuang melawan dinginnya cuaca pagi itu. Angin yang tak henti-hentinya menghembus badan ini. Meskipun sudah pake baju lapis empat celana lapis tiga, seakan sang angin masih bersikeras dan ngga mau menyerah terus merasuk melalui celah yang ada. Tapi ya sudahlah, akhirnya bis  yang ditunggu pun datang, dan sontak langsung aja ku masuk ke dalam bis, mencampakkan sang angin di luar sana yang mungkin masih menginginkanku menemaninya.

         Ngga banyak jumlah penumpang bis saat itu. Dengan 10 jari pun masih sisa 3 untuk menghitung jumlah penumpang di dalam bis. Langsung kutuju tempat duduk dekat jendela + belakang pintu bis + disamping mesin pemanas ruangan yang memang masih kosong. Bukan kenapa-kenapa, tapi tempat duduk ini memang tempat paling strategis buatku. Satu, bisa turun cepat karena dekat pintu belakang. Dua, bisa melihat keadaan luar sana, melihat aktivitas pagi, merenung, karena dekat jendela yang memudahkanku untuk melakukan hal-hal itu tadi. Dan yang ketuga, tentu saja karena anget.

       Sekitar setengah jam setelah bis melaju, bis berhenti di lampu merah. Lampu merah di perempatan pusat kota tempatku tinggal. Ah, kulihat kembali tangan-tangan mungil itu menghiasi jalan dekat lampu merah. Ya. Tangan-tangan mungil milik anak-anak kecil yang sudah bersemangat menghampiri jendela-jendela mobil yang berhenti di perempatan. Pandangan yang hampir tiap hari kutemui ketika berhenti di perempatan ini. Udara pagi itu sebenarnya masih terbilang dingin, cahaya sang matahari pun sedikit terlihat karena awan mendung masih menggantung dan menghalanginya untuk menghangatkan kami yang di bumi. Belum lagi angin akhir musim gugur yang menusuk tulang saking dinginnya. Tapi lihatlah anak-anak kecil itu. Begitu semangatnya mencari sedikit rejeki hanya untuk makan. Satu laki-laki satunya lagi perempuan. Kutaksir usia mereka masih sekitar 8-10 tahun. Ah, mereka tidak seharusnya melakukan hal itu di usianya yang sedini itu.


       “Ngapain dek, pagi-pagi udah bangun kok hanya untuk meminta recehan dari orang-orang yang lewat.”

        “Ngga seharusnya di usia kalian yang sedini ini melakukan pekerjaan ini.”

       “Kalian mah pantasnya ya duduk di bangku sekolah, mendengarkan guru mengajar di kelas, mencatat pelajaran, bermain sama teman-teman di halaman sekolah, waktu pulang mengerjakan pe-er, bantu ayah-ibu dengan pekerjaan rumah”


       Begitu banyak kalimat yang kurangkai dalam hati ini tapi tak mampu kukeluarkan. Bukan karena tak mau menyampaikan, tapi yaaa... ah sudahlah, bukan urusanku.

         Mereka ini merupakan para imigran dari Syiria yang saat ini memang masih tengah dalam kemelut peperangan. Mungkin mereka terpaksa datang ke Turki yang merupakan negara tetangga mereka, bertujuan mendapatkan perlakuan yang lebih baik; lebih dimanusiakan. Adek-adek ini tadi hanyalah satu dua contoh dari sekian ribuan atau bahkan ratusan ribu “pengunjung” yang berada di seluruh penjuru kota di Turki.

         Bukan niatku untuk menyalahkan pihak Syiria atau Turki yang terlihat kurang bisa ”menganyomi” mereka. Mungkin ada satu atau banyak hal yang menyebabkan para pengunjung tadi diacuhkan, terlantar, dan memaksa tangan-tangan mungil tadi untuk mencari recehan dari orang-orang yang lewat. Ah itu bukan urusanku.


         Duh, Dek. Semoga tuhan mendengar doa-doa kalian selama ini. Semoga tuhan turun tangan langsung untuk memudahkan kehidupan kalian. Semoga kalian pun masih bisa menikmati masa-masa kecil yang indah selayaknya anak-anak yang lain. Bukan asap debu jalanan yang akan menghiasi hari-harimu. Namun wewangian bunga-bunga di tamanlah yang akan kalian jumpai nanti, bermain dan bergurau dengan anak-anak seusia kalian.”

       Lampu sudah hijau, bis pun kembali melaju. Perlahan namun pasti hingga sosok kedua anak tadi tak nampak lagi. Kembali kulanjutkan lamunan pagiku. Dengan headset yang masih menancap di telinga, terdengar lirih sayup-sayup lantunan dari band Tipe-X tahun 2000an.


          Mengapa masih ada, jerit tangis yang merobek telinga
          Mengapa masih ada, perang yang harusnya tinggal cerita
          Apakah nurani tlah pergi. Dan putihnya hati tak mampu hapuskan gelap ini
          Dimana cinta...


          Ah kok ya pas banget..

Saat itu juga terlihat titik-titik air hujan mulai membasahi jendela bis, gerimis lagi. Ah adek-adek tadi gimana ya? Apakah pulang kembali ke dekapan ayah ibu mereka masing-masing ataukah masih tetap melanjutkan “ritual” mereka tadi? Ah ya sudahlah, itu bukan urusanku.

No comments:

Post a Comment

Most Popular